‘Haji’ Itu dari Belanda? Seriusan Nih?

Oleh Happy CH KarundengMonday, 2nd June 2025 | 11:17 WIB
‘Haji’ Itu dari Belanda? Seriusan Nih?
Kabah.jpg

"Pernah denger nggak sih, cerita yang bilang kalau sebutan 'Haji' itu sebenarnya dikasih sama orang Belanda? Bukan karena penghormatan, tapi karena pengawasan. Iya, pengawasan."

Penulis : Yuni Eko Sulistiono (Jurnalis)
___________________________________________

Hari itu, langit Jakarta tidak begitu perkasa. Meski demikian, saya, entah kenapa terpikir untuk makan es teler. Rasa buah nangka dan susu putih sudah mulai terbayang di lidah sejak pagi. 

Alhasil, siang jelang sorenya saya duduk di sebuah resto yang menjual es teler. Resto ini agak sempit, jadi suara hiruk percakapan pengunjung di meja sebelah mudah terekam indera pendengar. Mereka sedang berbincang terkait kuota Haji serta nasib para peserta Haji dari Indonesia dengan segala dinamikanya.

Sebuah pertanyaan terbersit dalam benak. Haji?

Pernah denger nggak sih, cerita yang bilang kalau sebutan 'Haji' itu sebenarnya dikasih sama orang Belanda? Bukan karena penghormatan, tapi karena pengawasan. Iya, pengawasan. Mari duduk dulu, mau ngopi silahkan, atau mau pesan es teler juga silahkan. Kita ngobrolin ini bareng-bareng.

Jadi ceritanya begini. Dulu, zaman penjajahan Belanda, pergi haji ke Mekah itu bukan cuma soal ibadah. Buat banyak orang Indonesia (yang waktu itu masih Hindia Belanda), naik haji juga jadi kesempatan belajar, ketemu ulama dari berbagai penjuru dunia. Ini dia yang konon bikin Belanda panas dingin karena ruang itu berpotensi jadi ajang tukar pikiran soal perlawanan terhadap penjajah.

Nah, karena takut para jemaah ini pulang-pulang malah makin ‘berani’ dan jadi penyulut semangat perlawanan, pemerintah kolonial Belanda mulai kepo tingkat tinggi. Mereka bikin sistem administrasi buat mendata siapa aja sih yang naik haji. Si ini, si itu, dari kampung mana, pulang tanggal berapa, bawa buku apa, ngobrol sama siapa aja di Mekah, dan sebagainya.

Dan karena Belanda butuh tanda buat ngelacak orang-orang ini setelah mereka balik ke tanah air, mereka kasih gelar ‘Haji’. Bukan dalam arti penghormatan seperti yang kita kenal sekarang, tapi semacam stempel identitas biar gampang dipantau. Kayak "Oh, si Fulan udah pulang dari Mekkah nih, awas, dia bisa jadi punya ide-ide yang bikin repot."

Lucunya, sekarang sebutan ‘Haji’ justru jadi gelar kehormatan. Kita manggil orang ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Hajjah’ dengan penuh rasa hormat. Padahal dulu, itu semacam ‘tag pengawasan’. Ya, sejarah memang suka main-main kayak gitu.

Nah, pertanyaannya:
Emang cuma di Indonesia doang yang pakai gelar ‘Haji’?

Jawabannya: nggak juga.
Malaysia juga pakai. Bahkan Brunei dan Singapura pun sama. Negara-negara serumpun ini masih mempertahankan tradisi menyebut orang yang sudah ke Mekkah dengan ‘Haji’ atau ‘Hajah’. Bedanya, mungkin penyebutannya aja yang sedikit beda aksen atau formalitasnya.

Tapi coba kamu keluar dari kawasan Asia Tenggara—ke Timur Tengah, Turki, Pakistan, atau Afrika. Di sana orang-orang yang sudah naik haji nggak pakai gelar khusus di depan nama. Mereka mungkin dihormati, iya, tapi nggak ada tuh ‘Pak Haji Ahmad’ atau ‘Hajah Fatimah. Mereka cukup bilang, “Alhamdulillah, saya sudah haji,” tanpa perlu dicantumkan di KTP atau baliho.

Jadi, bisa dibilang, tradisi menyematkan gelar ‘Haji’ ini khas banget dari warisan kolonial dan budaya lokal kita di Asia Tenggara, terutama Indonesia dan tetangga dekatnya. (*)

Lanjut soal naik haji zaman sekarang.

Kalau dulu tantangannya adalah kapal laut yang berbulan-bulan dan pemeriksaan dari penjajah, sekarang tantangannya adalah, ANTREAN.

Yap. Antrean haji reguler di Indonesia bisa sampai 20-40 tahun, tergantung provinsi. Ada yang daftar sekarang, baru berangkat pas anaknya udah punya cucu. Karena kuota haji dibatasi setiap negara, sementara jumlah pendaftar terus naik tiap tahun.

Solusinya? Bisa ambil haji khusus, tapi ya itu, biayanya khusus juga alias mahal banget. Tapi ya begitulah, haji zaman dulu dipantau penjajah, haji zaman sekarang dipantau sistem antrean dan tabungan.

Bedanya, dulu kamu diawasi, sekarang kamu harus sabar.

Sumber: Kemenag

Terkini

Tak Kebagian Tiket Laga Indonesia vs China? Bioskop Jadi Solusi Nobar Seru dan Berbeda!
Tak Kebagian Tiket Laga Indonesia vs China? Bioskop Jadi Solusi Nobar Seru dan Berbeda!
PinSport | 9 hours ago
Kemenkes Keluarkan Surat Edaran Waspada Covid 19
Kemenkes Keluarkan Surat Edaran Waspada Covid 19
PinNews | Tuesday, 3rd June 2025 | 14:45 WIB
PAM JAYA Gandeng UMKM Meriahkan Peringatan Hari Lahir Pancasila
PAM JAYA Gandeng UMKM Meriahkan Peringatan Hari Lahir Pancasila
PinNews | Tuesday, 3rd June 2025 | 13:14 WIB
Skenario Pergerakan Jemaah saat Puncak Haji di Armuzna
Skenario Pergerakan Jemaah saat Puncak Haji di Armuzna
PinNews | Tuesday, 3rd June 2025 | 12:29 WIB
Kasus Galon Isi Ulang di Bekasi, Pelanggaran Izin Usaha, Bukan Pemalsuan
Kasus Galon Isi Ulang di Bekasi, Pelanggaran Izin Usaha, Bukan Pemalsuan
PinNews | Monday, 2nd June 2025 | 18:31 WIB
Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia 'Dibanderol' 9 Miliar Rupiah
Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia 'Dibanderol' 9 Miliar Rupiah
PinFinance | Monday, 2nd June 2025 | 17:54 WIB
Visa Jemaah Haji Furoda Tak Terbit Tahun Ini, Himpuh: Kewenangan Kerajaan Arab Saudi
Visa Jemaah Haji Furoda Tak Terbit Tahun Ini, Himpuh: Kewenangan Kerajaan Arab Saudi
PinNews | Monday, 2nd June 2025 | 16:54 WIB
KAI Commuter Mulai Operasikan Kereta Rel Listrik Baru Buatan China
KAI Commuter Mulai Operasikan Kereta Rel Listrik Baru Buatan China
PinNews | Monday, 2nd June 2025 | 16:13 WIB
"Jangan Jadikan Pancasila Sekadar Mantra dan Slogan"
"Jangan Jadikan Pancasila Sekadar Mantra dan Slogan"
PinNews | Monday, 2nd June 2025 | 12:32 WIB
Budaya Betawi Diharap Masuk Pendidikan Formal
Budaya Betawi Diharap Masuk Pendidikan Formal
PinNews | Monday, 2nd June 2025 | 12:22 WIB
© 2025 Pinusi.com - All Rights Reserved
Setia mengabarkan berita dan fakta