PINUSI.COM - Jakarta Selatan, 27 Mei 2025 - Pagi itu, kopi hitam saya mengepul pelan di atas meja kayu yang mulai keropos dimakan usia. Teras rumah sederhana saya menjadi saksi sunyi segala berita yang berseliweran di layar ponsel. Di tengah cuitan lucu dan video kucing menguap, tiba-tiba muncullah satu berita: Remaja 16 tahun bunuh diri karena terlilit utang judi online.
Saya diam. Sesaat, rasanya seperti biji kopi terakhir yang menggumpal pahit di ujung lidah.
Judi online. Lagi-lagi ia datang dengan wajah digital, tanpa suara, tanpa bau alkohol atau denting koin—namun daya rusaknya melebihi meja kasino mana pun.
Sudah entah berapa tahun saya membaca berita serupa. Polisi menggerebek markas judi online, server luar negeri diblokir, ratusan situs ditakedown. Tapi esoknya? Iklan baru muncul lagi. Kali ini dengan wajah influencer, atau lebih licik lagi: disamarkan sebagai game edukasi berhadiah.
Saya menghela napas panjang. Kopi di cangkir pun mulai mendingin.
Di kampung sebelah, ada anak muda yang dulu saya kenal rajin salat Jumat. Kini, ia jarang keluar rumah. Kata tetangga, ia kecanduan “spin harian” dan game slot. Kadang menang sejuta, tapi sering kalah puluhan juta. Semua lewat sentuhan jari. Tak ada keramaian, tak ada polisi. Cuma diam-diam menghancurkan.
Saya jadi bertanya, ke mana larinya upaya pencegahan?
Bukan berarti pemerintah diam. Memang sudah banyak yang dilakukan: pemblokiran, edukasi, bahkan satgas anti-judi digital. Tapi sistem ini terlalu besar untuk ditangani satu lembaga. Judi online ini ibarat gurita: satu kepala dipotong, dua lagi tumbuh di tempat lain.
Saya percaya, penegakan hukum harus tetap digencarkan, tapi itu saja tak cukup.
Kita perlu strategi kolaboratif—antara polisi, Kementerian Kominfo, kementerian pendidikan, influencer media sosial, bahkan pengembang teknologi. Situs bisa diblokir, tapi aplikasi bisa menyamar. Uang bisa dilacak, tapi server bisa kabur. Maka langkahnya harus lebih dalam: literasi digital sejak usia dini, pengawasan transaksi keuangan daring, dan kerja sama antarnegara untuk memberangus server judi lintas batas.
Jarum jam terasa berjalan semakin cepat. Matahari mulai perkasa. Angin pun menerbangkan aroma tanah basah dari kebun. Saya menyesap sisa kopi yang tinggal sedikit, pahitnya kini terasa familiar. Mungkin seperti pahit yang dirasakan keluarga korban judi online: tak terlihat, tapi nyata merobek hidup dari dalam.
Entah sampai kapan kita akan bermain kucing-kucingan dengan monster digital ini. Tapi satu yang pasti:
kita tidak boleh menyerah. Karena jika kita diam, anak-anak kita bisa jadi korban berikutnya—tanpa kita sadar, dari balik layar yang kita beri setiap hari.